Archives for 2009

Desaku Tempo Dulu: Manipol Usdek

On: 27.12.09




Oleh: Agus "Jabo" Priyono*)

Jakarta, Berdikari Online- Waktu kecil aku sesekali diajak jalan oleh Bapak melihat desa-desa yang tidak begitu jauh dari desa tempat aku dilahirkan, jalannya menanjak tajam, beraspalkan tanah bercampur bebatuan, jika musim kemarau berumput kering berdebu, dan manakala musim hujan tiba, jalan becek, berair licin sekali. Desa-desa yang sering aku kunjungi berada di bibir perbukitan. Di sebelah kiri atau kanan jalan ditumbuhi pepohonan yang rindang, menjadi pagar jalan dengan sawah atau ladang.

Berhawa sejuk, jika malam atau pagi datang kabut putih seperti payung raksasa membentang. Sunyi, hanya ada suara angin menerpa dedaunan ataupun kicauan merdu burung bersautan.

Sering kali di tanah ketinggian di sekitar desaku itu, aku bersama kawan-kawan kecilku bermain layang-layang atau duduk di rerumputan melihat mobil-mobil berlalu lalang, tampak kecil sekali dari kejauhan. Seperti semut yang berjalan di pinggir pematang. Kota, hanya aku dengar dari cerita. Kakiku belum pernah melangkah ke sana. Impian saja sudah cukup bagiku sebagai anak desa.

Rumah-rumah yang ada di desaku berlantai tanah, berpagar kayu atau anyaman bambu. Yang terlihat mereka hidup rukun, bertani sebagai mata pencaharian utama satu-satunya. Walau tidak terlalu luas para petani mengolah sawah, kebun atau ladang di sekitar desa, baik yang mereka punya, atau menggarap tanah tetangga. Menanam padi, singkong, jagung atau palawija. Hasil panen digunakan untuk dinikmati sendiri, kalau ada lebih biasanya dijual untuk membeli atau memenuhi kebutuhan lainnya. Walau mengandalkan air hujan untuk pengairan sawah, bermacam-macam tumbuh-tumbuhan hidup di desa. Pohon, buah dan sayur mayur juga tumbuh subur. Ada durian dan pisang. Ada cabe, terong dan kacang panjang.

Kalau ada yang menjadi tukang kayu atau tukang batu, hanyalah sebagai kerja tambahan setelah mereka bercocok tanam atau menunggu panen padi datang. Terkadang ada yang berternak ayam atau kambing, itupun hanya tiga atau empat ekor, dibiarkan berkeliaran di pinggiran desa mencari makan. Beberapa keluarga menambah penghasilan dengan membuat arang untuk dijual di perkotaan, ada yang membuat gula merah dari nira pohon kelapa, ada juga yang membuat makanan gethuk hitam atau geblek singkong, tiap pagi mereka jual ke pasar. Yang aku ingat Ibuku juga pernah membuat minyak kelapa, kecap dan tempe dari kedelai untuk makanan kami semua.

Semua bekerja, laki perempuan sama saja, sabit dan cangkul dipundaknya, dengan tanah mereka mengikatkan hidup serta hari depannya. Berpangku tangan berarti tidak makan dan akan jadi omongan.

Desa, tidak jauh dari sungai atau mata air mengelilinginya. Dengan hutan di hulu yang masih cukup lebat menjadikan air sungai jernih serta banyak ikan. Ini juga sumber kehidupan lain yang disediakan karena kemurahan alam.

Yang aku heran di genteng-genteng rumah penduduk itu ada tulisan MANIPOL menggunakan labur putih. Rumah yang lain ada tulisan USDEK. Atau di satu rumah ada dua tulisan MANIPOL USDEK. Walau menimbulkan pertanyaan dalam hatiku, aku tidak pernah menanyakan ke Bapak atau Ibu atau siapapun makna dan maksud tulisan itu. Aku terus digoda untuk bisa memahami arti dan tujuan warga desa membuat tulisan di genteng rumah mereka. Walau akhirnya aku simpan dalam-dalam, terukir menghiasi pikiran.

Kegemaran aku kecil waktu itu adalah melihat-lihat koran, Bapak aku sering membawa pulang Koran AB (Angkatan Bersenjata) atau Suara Karya dari kantor Kecamatan, sering juga ada koran Suara Merdeka. Bapak aku memang suka sekali membaca. Sebagai perangkat desa, dia mendapatkan jatah koran dan majalah secara cuma-cuma.

Bacaan yang aku suka tentu cerita, serial mingguan laba-laba selalu aku tunggu di Suara Merdeka Minggu, juga petualangan Tarzan. Di rumah Bapak juga sering membawa majalah, Krida, menjadi majalah bacaan keluarga. Aku suka kartun-kartunnya dan cerita pendek yang dimuat di dalamnya. Aku baca terus aku baca, sampai aku paham apa maksudnya.

Salah satu yang aku ingat, aku pernah membaca sebuah cerpen bercerita tentang perjuangan seorang Guru, tenaga pendidik sebuah sekolah dasar di pelosok desa, kampung lereng gunung. Persis di bawah judul cerita, ada gambar seorang lelaki setengah baya sedang duduk sendirian di bebatuan, memandang kosong ke depan, wajahnya lebar bergaris keras, mengisap sebatang rokok dengan asap tebal membumbung, di belakangnya kelihatan pohon pinus serta pohon lainnya. Mencerminkan seorang lelaki terpelajar yang jauh dari keluarganya, tinggal di pedalaman negeri, menjalankan tugas sebagai seorang guru. Sendiri, terasing, berteman sepi.

Cerita pendek lain yang sering aku baca tentang Peristiwa Madiun 1948 dan MMC, Merapi Merbabu Compleks.

Selain majalah Krida, Bapakku sering juga membawa majalah Trubus yang berisi tentang pertanian.

Jika petang tiba, selain membaca, aku kecanduan mendengarkan sandiwara radio. Cerita tentang Mahesa Jenar, Nogososro-Sabuk Inten yang dimainkan oleh Sanggar Prativi selalu aku nanti. Masih teringat kuat cerita itu, tempat-tempat yang tidak begitu jauh dari desaku menjadi pusat peristiwa dalam sandiwara, gunung Telomoyo, Rawa Pening, gunung Tidar. Selain kepahlawanan, bertutur tentang mata rantai sejarah Babad Tanah Jawa. Sering kali pemeran utamanya mempengaruhi pikiran serta perasaanku, kadang aku kagum, jika besar nanti ingin menjadi seperti tokoh itu, dan aku benci sekali tokoh-tokoh yang berprilaku angkara. Ada Pasingsingan, pendekar bertopeng yang sangat sakti dan misterius, tempat tinggalnya di daerah Gunung Telomoyo, ada Lowo Ijo pendekar jahat yang sangat aku benci, ada pendekar Banyubiru, Gajah Suro, Lembu Suro dan ada juga Simoludro dari Gunung Tidar, aku mengidolakan sosok Mahesa Jenar dan Roro Wilis.

Jika malam tekadang aku lanjutkan mendengarkan sandiwara , tetapi ceritanya sedih dan sering menakutkan aku. Kakak aku juga suka membaca serta mendengar juga sandiwara, tapi yang dibaca lebih banyak komik. Cerita tentang Tigor pendekar asmara atau komik wayang Sosrobahu, cerita tentang Sumantri dan Sukrosono. Sandiwara yang dia suka ‘Butir-butir Pasir di Laut' disiarkan siang hari setelah warta berita jam setengah dua.

Tetapi mengapa dan aku selalu bertanya, dari koran, radio, di sekolah maupun majalah, aku tidak pernah mendengar cerita tentang tulisan yang ada di genteng-genteng rumah itu. Manipol Usdek. Aku terus berpikir apa maksud tulisan itu. Kenapa di genteng-genteng rumah petani itu tidak ditulis Mahesa Jenar atau Roro Wilis, tokoh cerita kegemaran aku.

Waktu terus berlalu, berputar mengitari buana membelah cakrawala. Aku beranjak dewasa, untuk melangkah maju aku meninggalkan desa, melanjutkan sekolah di kota. Menjadi mahasiswa, terjun mengolah pikiran serta sikap kebangsaan, dunia pergerakan menjadi pilihan. Bacaan sejarah masyarakat, filsafat dan politik menjadi santapan sehari-hari. Sejenak melupakan kehidupan desaku, masuk ke dalam hiruk pikuk jaman yang menyesakkan.

Lambat laun kemudian terjawab apa yang aku pikirkan selama ini. Manipol USDEK. Garis politik bangsa Indonesia, dasar dan arah revolusi membangun bangsa serta manusia Indonesia yang menolak mentah-mentah penjajahan satu bangsa terhadap bangsa lain, penjajahan manusia terhadap manusia lainnya. Manipol USDEK, gotong royong membangun bangsa menuju kejayaan Nusantara.

Namun penemuan itu menyisakan sesuatu. Bagaimana jalan ceritanya mereka orang-orang desa itu memiliki kesadaran politik yang demikian tinggi. Mestinya mereka diburu karena dianggap bagian dari Gestapu. Dan aku tidak pernah mendengar cerita yang terang tentang sejarah politik di desaku.

Apapun, aku sangat hormat dan bangga, kepada orang-orang desa. Alangkah hebatnya kesadaran mereka, semangat mereka berbangsa, sampai ke pelosok desa. Satu sikap yang kini menjadi mahal dan barang langka.Walau yang aku lihat hanyalah tulisan di atap-atap rumah, memiliki makna yang teramat dalam. Ditulis di tempat yang tinggi, dijunjung tinggi, menjadi panji-panji. Desaku oh desaku.

Menjelang pagi tadi aku coba buka kembali dokumen Manipol Usdek, Gesuri, Jarek, Resopim dan Takem.

Satu semangat melawan imperialisme, yang sedang bermetamorfosa wujudnya, menggilas bangsa manapun yang mau bangkit. Manipol Usdek, Manifesto Politik yang berlandaskan UUD 1945, Sosialisme Demokrasi, Ekonomi Nasional dan Kepribadian Bangsa.

Apa yang salah dari semua itu, buah karya Bung karno, Proklamator pendiri bangsa,yang salah adalah imperialis dan antek imperialis yang bersembunyi di tanah air ini, berlindung di bawah atap demokrasi.

Maka wajar jika musuh-musuh politiknya gentar dan berhitung untuk menghadang semangat Sukarno dengan semangat kebangsaannya, yang didukung oleh rakyat klas tiga dunia, bangsa Asia Afrika, juga para petani pedalaman di desa.

Jarek, sudah mandeg, seperti bis kehabisan bensin di tengah jalan. Kemudian ditarik mobil derek ke tepian. Para penumpang diam kebingungan. Sopir baru datang, dia bilang kita salah jalan. Maka dibuat jalan baru yang cepat, sampai ke tujuan. Meninggalkan para penumpang yang kebingungan. Tanpa ada satu pun yang mampu menghentikan.

Takem ditelan bumi, para petani bertahan hidup dalam mimpi, buruh-buruh antri hilang harapan, pengangguran seperti buih di lautan. Tanah kelahiran tidak sanggup lagi menyangga kehidupan. Sebagian dari mereka harus ke kota menjual tenaga. Seperti ternak menyeret gerobak tuannya. Seringkali nasibnya seperti serangga kecil terperangkap dalam sarang laba-laba. Di himpit gedung tinggi, mereka memburu rejeki. Untuk menyediakan sesuap nasi buat anak isteri.

Angin musim kemarau, gemerisik, kering menghempas pepohonan, meranggas. Terik mentari menukik menghatam kepala para petani yang mengais-ngais sawah ladang yang tersisa. Sungaipun kering, penuh batu, sudah habis pepohonan di hulu. Modal telah menjadi setan serta hantu gentayangan, siap melumat serta menelan siapa saja, kuburkan sila peri kemanusiaan, di bawah nisan teramat dalam.

Demokrasi, kebebasan, kini seperti kehidupan di tengah belantara, saling memburu untuk memenuhi kebutuhan serta mengembangkan kekuasaan. Yang lemah berlari ke sana ke mari dikejar-kejar untuk menjadi mangsa bagi yang kuat.

Manipol Usdek tidak lagi tertulis di genteng-genteng itu, seolah terhapus terkikis rintik hujan, jaman merubah menjadi pelayan kehendak para Tuan. Terasing bangsaku dari tanah airku.

Kini diam, seolah semua diam, sepi seperti malam hari di dalam hutan. Anak bangsa dipenjarakan, diperkosa di ranjang di atas tanah tempat mereka dilahirkan.

Penderitaan akibat penindasan akan tercatat dalam sanubari dan setiap tarikan nafas, membangkitkan perlawanan. Percikan api akan menyala, membakar ilalang kering di tengah ladang. Menghanguskan keterasingan aturan yang menjerat kehidupan.

Angin sejuk akan kembali tiba wahai orang-orang desa. Selimut mendung tebal yang menggumpal di atas negeri kita, akan menjadi hujan, menyirami bumi, tanah akan menjadi basah, menumbuhkan tanaman serta pepohonan. Menyerah menghadapi keadaan bukanlah budaya kita, bukan seperti sandiwara radio yang dulu pernah kita dengar bersama, bukan tulisan yang pernah kita ukir di genteng rumah bambu kita. Menyerah berarti mengkhianati semangat para pendiri bangsa kita, tanah air kita.


Pantang kita mengubur harapan.

Mari kita keluar rumah melihat kembali dunia, menghidupkan kembali jiwa kita. Dan tuliskan kembali di jendela hati, gapura jalan serta genteng rumah kita. Seperti dulu kala, di desa-desa kita.

Selamat datang MANIPOL USDEK , kami menunggumu, merindukanmu, wahai generasi baru bangsaku!

Jakarta, akhir tahun 2009

*) Ketua Umum Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas), dan Sekjend Komite Pimpinan Pusat- Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kumpulan puisinya sudah diterbitkan oleh Jaker dengan judul "Negeriku".





_____________________________________________________________________________


ketika seorang sosok pemimpin masuk dan menjadi panutan warganya, entah itu benar atau tidak
setidaknya dia memberikan perjuangan dan pengabdiannya hanya untuk rakyat,, 

kembali bercermin

On: 11.10.09

jumat kemarin, selepas siang yang terik menanggalkan panas dan mengurungkan mendung


bercermin, sebuah kegiatan yang akhir-akhir ini aku lakukan. entah kenapa aku merasa banyak sekali yang hilang dari hidupku dan bercermin, sedikit demi sedikit membantuku menemukan potongan- potongan yang hilang itu.


1.
aku berjalan menyusuri koridor yang tidak begitu panjang dan kutemui kawan yang mungkin kalau dihitung-hitung masih baru, dia menyapaku dengan raut yang kurang begitu gembira.
datar.
kami berjalan keluar gerbang menuju kantin yang lebih mirip los-los pasar atau mungkin benar los pasar? aku pun tak begitu ambil pusing.
setelah makan dia mengajakku berjalan-jalan, menghabiskan waktu sembari menemaninya ke toko untuk sekedar registrasi sebuah acara.
sebuah jalan-jalan unik karena sekian lama aku sudah melupakan angkot kota ini, terlalu asik dengan skuterku.


2.
selesai registrasi kami menyusuri sebuah koridor (lagi tapi akali ini aku tidak sendiri) supermarket sedang dan aku punya niatan untuk sekedar beristirahat di salah satu sudut rest area dengan beberapa sofa dan sedikit hembusan air conditioner,,sejenak melepas penat, pikirku.


dan kami mulai asik menyusun cerita-cerita dua- tiga tahun lalu. masa-masa pertama kuliah dan segala macam mozaik-mozaik didalamnya,


aku bercermin darinya..


seorang yang begitu lugu, jauh asalnya beberapa pulau dari pulau tempat kita menghirup udara yang sama. dia begitu sumringah bercerita tentang hebatnya dan heroiknya kehidupan khas pantai dan sempat membuatku iri betapa sebuah kultur masyarakat mempengaruhi daya bertahan hidup manusianya.


ada beberapa bagian yang cukup mirip dan kita sama-sama tertawa dalam sedih, betapa hidup cukup kejam dan sekaligus indah. dan mulailah kita sampai pada bagian harapan, tujuan dan passion diaduk menjadi satu.


dia begitu lihai dalam mencapai cita-citanya sampai saat ini dan itulah yang membuatku bercermin.


kurang lebih dalam beberapa bagian cerita kami ada kemiripan yang tak begitu jauh. dua orang pemuda mencoba meraih mimpinya dan berjuang dengan segala keterbasan. namun yang menjadikanku bercermin adalah dia begitu erat menjaga harapan, tujuan sekaligus passion. sedangkan aku,,dua tahun ke belakang tak tahu menghilangkan ketiga barang berharga itu. dan mulai sekarang aku terus bercermin untuk mendapatkannya kembali.


3.
dan dalam perjalanan pulang, kutaruh harapan..semoga dia berhasil mengejar ketiganya dan aku masih perlu banyak cermin untuk menemukan barang-barang berharga yang telah kuhilangkan.




terima kasih teman.






On: 22.6.09

salinan dari tempointeraktif...

Untuk Boediono: Sebuah Titipan dari Sebuah Gedung Bersejarah

Senin, 18 Mei 2009

Kita bertemu di sini—di gedung tempat Bung Karno mengucapkan pleidoinya di pengadilan kolonial 79 tahun yang lalu—karena kita merasa sesuatu yang ganjil terjadi. Sesuatu yang tak lazim dan mengandung harap.

Yang ganjil adalah bahwa hari ini kita menemukan seorang yang akan dicalonkan jadi wakil presiden, dan orang itu tak datang dari kancah yang ribut di mana partai-partai politik bersaing mendapatkan uang atau kedudukan.

Boediono seorang ekonom; ia bekerja dalam pengelolaan perekonomian Indonesia; ia seorang teknokrat. Ia bukan tokoh partai. Ia bukan anggota dinasti pemimpin partai. Ia tak tersohor dalam pasaran media seperti para bintang sinetron, komedian, dan penyanyi. Ia bukan seorang vote-getter.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilihnya sebagai calon wakilnya tentu karena Boediono memenuhi sejumlah syarat. Tapi lebih penting lagi adalah kenyataan bahwa Boediono bukan saja seorang yang telah bekerja untuk perbaikan kehidupan perekonomian bangsa, tapi juga seorang pejabat dan pribadi yang bersih.

Di atas saya sebut, itulah sebuah ”keganjilan”—dan di atas saya sebut juga, ”keganjilan” itu membawa harap. Diakui atau tidak, ada yang merisaukan dalam kegaliban kehidupan politik kita. Kini SBY, dengan memilih Boediono, menunjukkan langkah kepemimpinan yang berani—dan itu indikasi bahwa kita, sebagai bangsa, sanggup memperbaiki keadaan yang merisaukan itu.

Telah luas diketahui, hari-hari ini orang berpolitik dengan semacam sinisme yang gelap: pada sebuah zaman ketika semua dapat diperjual-belikan, orang cenderung percaya bahwa bahkan partai harus juga dianggap sebagai komoditas.

Para calon anggota legislatif yang berkampanye ke daerah bisa bercerita, bagaimana ratusan juta rupiah dihabiskan untuk memperoleh suara. Sebaliknya ada juga cerita bagaimana para pemilih mengorganisasi diri jadi kelompok dan menawarkan dukungan agar dibeli.

Walhasil, ikatan yang terjadi bukanlah ikatan agenda dan cita-cita, melainkan ikatan antara penjaja dan pembeli.

Di tingkat elite politik, sinisme yang lebih gelap berlaku. Koalisi antarpartai dibentuk atau dibatalkan bukan berdasarkan program ataupun ideologi, bukan karena apa yang akan diperbuat bagi pemilih dan bagi Republik. Koalisi antarpartai hampir sepenuhnya berkisar di sekitar siapa dapat jabatan apa, bahkan siapa yang membayar dan siapa yang dibayar.

Di tengah berisiknya tawar-menawar yang seperti pasar ternak itu pertanyaan pun timbul: Adakah prinsip tentang kebaikan dan kebenaran dalam politik? Benarkah semuanya untuk kepentingan subyektif, dan tak ada suatu nilai universal yang menggugah hati dan membentuk kesepakatan?

l l l

79 tahun yang lalu, di ruangan ini, Bung Karno memulai pleidoinya dengan sebuah statemen yang menarik. Sebuah statemen yang menunjukkan, betapa bisa palsunya klaim pemerintah kolonial bahwa kebenaran dan keadilan yang hendak ditegakkannya—dalam tubuh hukum—adalah kebenaran dan keadilan yang universal.

Bung Karno menyebut apa yang salah dalam hukum yang dipergunakan hari itu. ”Tuan-tuan Hakim,” katanya, ”kami di sini didakwa bersalah menjalankan hal-hal, yang sangat sekali memberi kesempatan lebar pada pendapat subyektif….”

Adapun jaksa menyatakan Bung Karno bersalah berdasarkan pasal tentang ”pemberontakan”. Tapi Bung Karno menunjukkan, pasal itu, seperti pasal yang menyebut diri ”pencegah penyebaran rasa benci” (haatzaai artikelen), mengandung kata-kata yang bisa ditafsirkan seenaknya oleh yang membacanya, terutama para jaksa dan hakim kolonial. Bung Karno mengulang apa yang sering dikatakan tentang pasal-pasal seperti itu—yakni ”aturan karet yang keliwatan kekaretannya”. Artinya, aturan yang dapat direntang dan dikerutkan sesuai dengan kepentingan sepihak, atau apa yang disebut Bung Karno sebagai ”subyektif”.

Apa yang tersirat dari pernyataan Bung Karno ialah bahwa keadilan dan kebenaran, yang seharusnya bersifat universal, telah direduksi jadi pasal-pasal. Dengan kata lain, yang universal, yang tak terhingga, telah dikuasai oleh bahasa, sistem simbolik yang mau mendikte karena berkuasa.

Tak mengherankan bila Bung Karno pada akhirnya dinyatakan bersalah. Ia dihukum empat tahun penjara dan dikurung di Sukamiskin. Tapi tak mudah menerima keputusan itu sebagai ekspresi keadilan. Pada saat palu diketukkan, terasa benar apa yang diingatkan Marxisme: keadilan dan kebenaran selamanya adalah keadilan dan kebenaran dari yang berkuasa. Dengan kata lain, dalam rumusan nilai-nilai selalu ada dimensi politik, pertarungan kekuasaan, dan perebutan hegemoni.

Memang, Marxisme sebuah suara zaman modern, bagian dari apa yang disebut hermeneutics of suspicion, yang meragukan bahwa ada kebenaran yang mulus dan murni. Tapi kita ingat, bahkan dalam Marxisme orang senantiasa dirundung pertanyaan: benarkah politik hanya pergulatan kepentingan ”subyektif” atau sepihak? Jika demikian, apa makna perjuangan proletariat untuk membebaskan manusia dari ikatan kepentingan kelas-kelas? Bila perjuangan politik tak bisa berangkat dari kebenaran dan keadilan yang berlaku bagi siapa saja, bagaimana ia bisa menggugah banyak orang, mengajak banyak orang, untuk bergerak?

Saya termasuk orang yang percaya, politik adalah perjuangan yang terdorong untuk melawan kepentingan ”aku”. Politik berbeda dari pasar ternak. Ada yang universal dalam nilai-nilai yang membuat kita memenuhi panggilannya.

Tapi sejarah perjuangan politik juga menunjukkan, yang universal bukanlah sesuatu yang sudah dirumuskan sepenuhnya. Yang universal adalah yang justru dirasakan sebagai kekurangan yang akut. Keadilan (sebuah nilai universal) jadi sesuatu yang seakan-akan hadir, memanggil-manggil, ketika ketidakadilan merajalela. Kebenaran (sebuah nilai universal) jadi mendesak semua orang ketika dusta menguasai percakapan. Dalam Indonesia Menggugat, Bung Karno mengutarakan ini dengan retorika yang memukau:

… Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat—tiap-tiap machluk, tiap-tiap ummat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti achirnja berbangkit, pasti achirnja bangun, pasti achirnja menggerakkan tenaganja, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan tjelakanja diri teraniaja oleh suatu daja angkara murka!!”

Kebangkitan mereka yang teraniaya untuk mencapai keadilan dan kebebasan pada akhirnya hanya berarti ketika keadilan dan kebebasan itu ditujukan buat siapa saja. Sejarah bergerak karena sebanyak-banyaknya orang ikut bergerak.

l l l

Tapi bisakah sejarah berakhir? Kita berada pada awal abad ke-21, yang mengharuskan kita tabah dan juga berendah hati. Abad yang lalu telah menyaksikan ide-ide besar yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, namun akhirnya gagal membangun sebuah masyarakat yang dicita-citakan.

Dengan ketabahan itu sejarah tak berhenti, bahkan berjalan semakin cepat. Teknologi, pengetahuan tentang manusia dan lingkungannya, kecenderungan budaya dan politik, berubah begitu tangkas, hingga persoalan baru timbul sebelum jawaban buat persoalan lama ditemukan.

Kini makin jelaslah, tak ada doktrin yang mudah dan mutlak untuk memecahkan problem manusia. Tak ada formula yang tunggal dan kekal bagi kini dan nanti.

Yang ada, yang dibutuhkan, justru sebuah sikap yang menampik doktrin yang tunggal dan kekal. Kita harus selalu terbuka untuk langkah alternatif. Kita harus selalu bersedia mencoba cara yang berbeda, dengan sumber kreatif yang beraneka.

Boediono tentu sangat akrab dengan keniscayaan itu. Seorang ekonom adalah seorang yang sangat dekat dengan kekurangan dan kelangkaan, dan seorang teknokrat adalah seorang yang harus bersua tiap kali dengan kerumitan. Itu sebabnya Boediono tahu, doktrin seperti ”neoliberalisme” tak akan pernah berhasil, sebagaimana ”ekonomi yang etatis” tak akan pernah sampai di tujuan.

Sikap pragmatik itu, sebagai sebuah keniscayaan, tak berarti sikap yang hanya mengutamakan hasil dan tak mempedulikan nilai-nilai, tak mengacuhkan apa yang baik dan yang benar. Seorang ekonom, terutama di Indonesia, tak mungkin mengabaikan persoalan korupsi, ketakadilan dalam aturan main, goyahnya kemandirian lembaga yudikatif, dan last but not least, tipisnya modal sosial dalam bentuk sikap yang lebih percaya kepada liyan—orang lain yang juga sesama.

Seorang ekonom, seperti kita semua, punya daftar panjang tentang hal-hal yang tak bisa diabaikan. Untuk itu diperlukan kesetiaan yang tak habis-habisnya: kesetiaan kepada negeri ini.

Kesetiaan kepada negeri ini bukanlah karena patriotisme yang pongah. Kita setia kepada Indonesia justru karena ia terus-menerus memanggil: ia belum selesai. Kita tak bisa melepaskan diri dari ikatan kita kepadanya; kita tak bisa melupakannya; kita terkadang bangga terkadang risau oleh karenanya. Tapi tetap: Indonesia bukan hanya sebuah tempat tinggal. Indonesia adalah sebuah amanat. Begitu banyak sudah orang berkorban untuk cita-cita yang membuat negeri ini lahir.

Saudara Boediono, kami percaya, Anda tak akan menyia-nyiakan amanat itu. Dari ruang ini, pada hari ini, izinkanlah kami mengucapkan selamat bertugas.

Bandung, 15 Mei 2009

Goenawan Mohamad



...masihkah kita berebut kekuasaan demi masa depan bangsa yang tak kunjung pasti..


mari bercermin

On: 13.5.09


melihat sesuatu mungkin bisa dari arah mana saja, namun ketika melihat diri sendiri alias bercermin,,mutlak hanya bisa lewat satu arah.
dan malam ini mudah saja aku bercermin diri lewat seorang kawan lama. kawan jauh di kota sana. beliau menuliskan sebuah pesan sederhana yang jujur. pesan pertama ditujukan kepada orang-orang dikampung halaman yang sudah beberapa waktu ditinggalkan, padahal hanya dipisahkan jarak yang begitu dekat. dan aku takjub ketika beliau begitu jujur mengingat beberapa nama, yang aku yakin pasti tiap-tiap nama tersebut mempunyai arti yang sangat khusus bagi kawanku itu.
pesan kedua, pesan jujur seorang anaknya kepada sosok bunda yang telah lama meninggalkannya. aku terkesiap, merinding, sekaligus berdoa dalam hati, semoga tenang di alam sana, dan kau, kawan, tetaplah dijalanmu. aku merasakan hal yang sama dalam beberapa hal, dan mungkin pesanmu sedikit mengingatkanku pada seorang aku 3 tahun yang lalu..penuh dengan tujuan, impian, dan kemauan.

dan aku yang sekarang telah tandus oleh jaman.

malam dan kebersamaan diatas kota

On: 7.5.09



dan kita bersama-sama tertawa dalam kegalauan yang teramat sangat.
dan terimakasih teman..

come here

On: 19.1.09

18.01.09

setelah semua kuselesaikan, hari ini aku ingin sedikit melepas penat
kuhempaskan badanku ini, ahh...
kucoba kuhela nafas pelan-pelan, mataku menerawang langit-langit kamar
hmm..aku beranjak dari ranjangku.sebatang rokok mulai terbakar, sebuah lagu pelan-pelan menyeruak dari speaker murahan itu di sepinya sore ini,
sedikit panas diluar sana, mau hujan mungkin. cukup nyaman berada di kamar ini, setelah setengah jam lebih diatas motor pinjaman, berjalan-jalan dari lembang.
kuambil telepon genggamku dari saku jaket di gantungan baju..tak ada pesan, kubaca beberapa pesan terakhir, ah nama-nama itu..dia, mereka, tidak ada pesan darimu.

lapar menyerang, porsi makanan cepat saji sialan itu tak cukup memenuhi perutku ini, mana mahal pula. kugeser kursiku, mencari posisi yang nyaman. ujung-ujungnya aku kembali berada diatas ranjangku. kucoba memejamkan mata...gelap,,,nyaman.

...................


getar dan dering ponselku membangunkan tidurku. kugapai ponselku di ujung ranjang. kubaca sebentar. darimu, ah biasa paling menyapa saja, pikirku. setengah sadar aku bangun. pegal terasa disekujur badanku. kubaca sekali lagi pesanmu. hmm..masih setengah tak percaya. kata-kata itu..apa-apaan ini? setengah terkejut kubaca sekali lagi. ah, ini lagi-ini lagi. sudah berapa kali aku dihadapkan pada situasi semacam ini. ku buka pintu kamarku, kudongakkan kepalaku keluar, berharap kau menunggu diluar sana dan tak ada siapa-siapa kecuali motor berbaris tiga buah.

emosi sekali lagi menguasainya. pelan tapi pasti. begitulah sebuah racun bekerja. dan kupikir dia telah parah. aku tak tahu seberapa banyak mereka berdua menenggak racun itu. separah itukah??

kubalas seperti biasa, yang kau bilang baik lah, peduli lah, apapun itu. yang jelas aku paling tidak bisa melihat orang dalam keadaan seperti itu. karena aku pernah mengalami dan tahu, paling tidak harga sebuah nyawa bisa ditukar untuk setenggak racun itu. pahit memang, tapi untuk mereka pahit, asam, manis tidak mempunyai batas yang jelas. pesanku terkirim. kuminum air segelas penuh. sebuah lagu menyentak pelan menemaniku menunggu balasan darimu.

kualihkan perhatianku pada bentuk-bentuk masa laluku. situasi ini selalu ada disetiap tahun umurku belakangan ini. mungkin karma, mungkin anugrah. getar dan dering ponselku mengembalikan perhatianku pada ponselku. kubaca sesaat, jawaban yang sangat-sangat beralasan untukmu. aku tak habis pikir, seorang gadis selincah, sepercaya diri, secantik, sehebat dirimu harus menuruti emosi untuk kesekian kalinya. waktu dan perhatian yang kau tuntut, katamu. aku tak berani bilang aku bisa menyediakan itu semua. toh kalaupun aku bisa, apa hak-ku dan apa yang akan kaulakukan setelah emosimu mereda? dan aku tahu benar, beberapa hari kedepan kau akan dengan mudah saja melupakan hal-hal seperti ini. dan aku? aku hanya seorang yang kau anggap terlalu baik untuk ukuran lelaki. yang mudah saja menuruti inginan-inginan orang yang meminta tolong, tanpa mengetahui dibalik itu semua, mungkin hanya bisa menyungging senyum karena tahu semua baik-baik saja. kau dan dia.

............

malam begitu cepat datang. kuhidupkan layar monitorku. aku masuk ke layanan pesan elektronik berlambang orang tersenyum itu. kuperiksa satu persatu nama-nama dalam daftar kontakku. namamu masih belum muncul. sebuah lagu kembali keluar dari speaker murahan itu. dan tiba-tiba, namamu keluar disudut kiri atas layar monitorku.

kusapa dirimu yang berada jauh disana. kutanyakan kembali, apa yang sebenarnya terjadi. dan yah, selalu jawaban yang sama. dan semua mengalir begitu saja. pada akhirnya semua usai sudah. mungkin sedikit naif ketika kuutarakan perasaanku tadi. tetapi mendengar jawabanmu aku sedikit lega.

............

Remind me not, remind me not,
Of those beloved, those vanish'd hours,
When all my soul was given to thee;
Hours that may never be forgot,
Till Time unnerves our vital powers,
And thou and I shall cease to be.

Can I forget---canst thou forget,
When playing with thy golden hair,
How quick thy fluttering heart did move?
Oh! by my soul, I see thee yet,
With eyes so languid, breast so fair,
And lips, though silent, breathing love.

When thus reclining on my breast,
Those eyes threw back a glance so sweet,
As half reproach'd yet rais'd desire,
And still we near and nearer prest,
And still our glowing lips would meet,
As if in kisses to expire.

And then those pensive eyes would close,
And bid their lids each other seek,
Veiling the azure orbs below;
While their long lashes' darken'd gloss
Seem'd stealing o'er thy brilliant cheek,
Like raven's plumage smooth'd on snow.

I dreamt last night our love return'd,
And, sooth to say, that very dream
Was sweeter in its phantasy,
Than if for other hearts I burn'd,
For eyes that ne'er like thine could beam
In Rapture's wild reality.

Then tell me not, remind me not,
Of hours which, though for ever gone,
Can still a pleasing dream restore,
Till Thou and I shall be forgot,
And senseless, as the mouldering stone
Which tells that we shall be no more.

(Remind me not, remind me not : Lord Byron)

.............

dan mungkin memang kita diciptakan untuk dekat dalam dimensi yang berbeda, seperti ketika ku merasakan dekat ketika dipisahkan jarak. bukan tidak mungkin suatu saat semuanya bisa berubah. terimakasih untuk hari ini. sebuah cerita kita, katamu. dan kuharap seiring lalu lalang orang-orang yang silih berganti, cerita ini ikut menguap kemudian hilang.